Sabtu, 21 Agustus 2010

museum bahari

MUSEUM BAHARI
Bekas gudang rempah-rempah VOC  sering dikunjungi wisatawan asing


Museum Bahari adalah museum yang menyimpan koleksi yang berhubungan dengan kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Koleksi-koleksi yang disimpan terdiri atas berbagai jenis perahu tradisional dengan aneka bentuk, gaya dan ragam hias, hingga kapal zaman VOC. Disajikan pula berbagai model dan miniatur kapal modern dan perlengkapan penunjang kegiatan pelayaran. Di sisi lain ditampilkan koleksi biota laut, data-data jenis dan sebaran ikan di perairan Indonesia dan aneka perlengkapan nelayan dan pelayaran (alat navigasi, jangkar, teropong, model mercusuar dan aneka meriam), tehnologi pembuatan perahu tradisional serta folklor adat-istiadat masyarakat nelayan Nusantara. Melengkapi penampilan kebaharian Indonesia, museum ini juga menampilkan matra TNI AL, koleksi kartografi, maket Pulau Onrust, tokoh-tokoh maritim Nusantara serta perjalanan kapal KPM Batavia - Amsterdam.
Museum ini berlokasi di Jalan Pasar Ikan No. 1 Sunda Kelapa, Jakarta Barat.
Pada masa pendudukan Belanda bangunan yang saat ini dipergunakan untuk museum dulunya adalah gudang yang berfungsi untuk menyimpan, memilih dan mengepak hasil bumi, seperti rempah-rempah yang merupakan komoditi utama VOC yang sangat laris di pasaran Eropa. Bangunan yang berdiri persis di samping muara Ci Liwung ini memeiliki dua sisi, sisi barat dikenal dengan sebutan Westzijdsche Pakhuizen atau Gudang Barat (dibangun secara bertahap mulai tahun 1652-1771) dan sisi timur, disebut Oostzijdsche Pakhuizen atau Gudang Timur. Gudang barat terdiri dari empat unit bangunan, dan tiga unit di antaranya yang sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung-gedung ini dipakai sebagai tempat menyimpan barang logistik tentara Jepang. Setelah Indonesia Merdeka, bangunan ini dipakai oleh PLN dan PTT untuk gudang. Tahun 1976 bangunan cagar budaya ini dipugar, dan kemudian pada 7 Juli 1977 diresmikan sebagai Museum Bahari.

Museum Bahari menyimpan 126 koleki benda-benda sejarah kelautan. Terutama kapal dan perahu-perahu niaga tradisional. Di antara puluhan miniatur yang dipajang  terdapat 19 koleksi perahu asli dan  107 buah miniatur, foto-foto dan biota laut lainnya.  

Adalah bekas gudang rempah-rempah VOC Belanda, terletak di tepi Teluk Jakarta yang indah. Dahulu kala tempat itu menjadi pusat perniagaan  penting. Begitu sibuknya sehingga perlu penjagaan ketat, Kapal-kapal besar dan kecil hilir-mudik mengangkut  rempah-rempah, berupa cengkeh, buah pala, lada, kayu manis, kayu putih, tembakau, kopra, daun teh, biji kopi dan lain-lain diangkut ke Eropa dan beberapa negara lain di dunia.

Hasil bumi Nusantara ini menjadi monopoli komoditi penting perusahaan dagang VOC (Vereningde Indische Compagnie) Belanda. Hingga kini gudang tua itu masih bertengger dan terkesan angker. Cocok diubah fungsinya sebagai  museum yang menyimpan benda-benda sejarah kelautan.  


Bangunan tahun 1652

Bangunan berlantai tiga itu didirikan tahun 1652 oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Batavia. Tepatnya di jalan Pasar Ikan Jakarta Utara, menghadap Teluk Jakarta. Disebelah kanan tak jauh dari gudang induk dibangun menara. Sekarang dikenal dengan nama Menara Syahbandar  dibangun tahun 1839 untuk proses administrasi keluar masuknya kapal  sekaligus sebagai pusat pengawasan lautan dan daratan sekitar.

Secara signifikan gudang tersebut  mengalami perubahan. Tahun perubahan itu dapat dilihat pada pintu-pintu masuk. Di antaranya tahun 1718, 1719 dan 1771.  Pada  masa pendudukan Jepang, tepatnya ketika perang dunia II meletus (1939-1945) gudang tersebut menjadi tempat logistik peralatan militer tentara Dai Nippon. Setelah Indonesia Merdeka difungsikan untuk gudang logistik PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan PTT (Post Telepon dan Telegram)

Sejauh ini gudang bersejarah  itu tampak  lebih utuh setelah direnovasi Pemda DKI Jakarta dan  diresmikan menjadi Museum Bahari pada  7 Juli  1977 oleh Ali Sadikin, yang pada waktu itu menjabat Gubernur DKI Jakarta. Di perut Museum Bahari tersimpan benda-benda sejarah berupa kapal dan perahu-perahu asli maupun miniatur. Mengingatkan kepada kita bahwa sejak jaman dahulu kala ‘nenek moyangku orang pelaut’. Ada kebanggaan ‘kebaharian’ dari bangsa  pemberani di dalam mengarungi samudra  luas dan ganas.    


Dari perahu Bugis ke Kapal VOC

Diantara materi  sejarah bahari yang dipajang  antara lain  perahu tradisi asli  Lancang Kuning (Riau), Perahu Phinisi Bugis (Sulawesi Selatan), Jukung Karere (Irian)  berukuran panjang 11 meter. Miniatur Kapal VOC Batavia, miniatur kapal latih Dewa Ruci, biota laut, foto-foto dan sebagainya. Museum ini selain sebagai pusat informasi budaya kelautan, juga menjadi tempat wisata pendidikan bagi leluhur baru yang ingin mengetahui lebih banyak  mengenai sejarah kebaharian bangsa tempo dulu.

Arsitek kolonial Belanda betul-betul mempersiapkan bangunan berlantai tiga itu secara matang. Agar dapat bertahan lama terhadap gempuran badai laut tropis yang mengandung garam.  Tembok sekeliling gudang sangat  tebal, tiang-tiag penyangga langit-langitnya pun  kokoh. Menggunakan  kayu ulin (kayu besi)   berukuran besar sehingga  tak gampang  keropos dari gangguan  cuaca mau pun rayap. Tiang-tiang penyangga itu berjajar ditiap lantai ruangan   yang luas  lagi lebar. Bayangkan, sejak gudang itu dibangun hingga sekarang, tiang penyangganya masih kokoh. Udara ruangan pun tetap terjaga. Dengan demikian   rempah-rempah yang tersimpan disitu bisa bertahan lama tak gampang membusuk. Rancangan teknis pengaturan sirkulasi udara menjadikan seluruh ruangan terasa sejuk. Sehingga rempah-rempah itu tetap segar sebelum dikirim keberbagai tempat nan jauh. Pengaturan sirkulasi udara  itu diupayakan dengan menempatkan  puluhan jendela  berukuran besar pada tiap ruangan. Bahkan  jendela-jendela  lebar itu selalu terbuka siang -malam sepanjang masa.



Wisatawan Bule tundukan kepala

Yang menarik perhatian ialah pada awal diresmikannya Museum Bahari itu banyak mendapat kunjungan wisatawan. Tetapi belakangan ini tampak sepi. Angin laut dibiarkan semilir mengipasi benda-benda koleksi sejarah yang kesepian. Kalaupun ada rombongan yang menjenguk, layaknya  lebih banyak dikunjungi wisawan mancanegara katimbang  wisatawan lokal. Prosentasinya 65 % wisatawan mancanegara dan 35 % wisatawan lokal. Wisatawan Belanda tercatat menempati urutan teratas dalam jumlah pengunjung. Menyusul  wisatawan Eropa lainnya. Jerman, Inggris, Perancis, Australia, Selebihnya    bangsa-bangsa dunia lainnya termasuk Asia.  

Mengapa kunjungan wisatawan Belanda lebih banyak dibandingkan wisatawan Eropa lainnya ? Ini dapat dipahami karena bangsa Belanda menyimpan hubungan emosional dengan Indonesia. Hampir 3,5 abad lamanya kolonial Belanda menduduki Nusantara. Wajar jika wisatawan Belanda yang berkunjung itu seringkali terkagum-kagum. Dari mulai opa dan oma, hingga anak cucu mereka. Terutama opa dan oma-oma Belanda  yang  pernah tinggal di Indonesia khususnya di Batavia.

Mereka tak hanya manggut-manggut tapi juga berdecak kagum menyaksikan bekas gudang tua yang dibangun oleh nenek moyang mereka. Bahkan tidak sedikit moyang mereka yang tutup usia dan jasadnya dimakamkan di Batavia. Seperti dapat dilihat pada kuburan Belanda di Ancol, Menteng Pulo, di Museum Wayang Jakarta Kota, Tanah Abang  I, dll,  menjadi saksi sejarah bahwa bangsa kulit putih yang doyan menyantap roti keju itu cukup lama tinggal di Indonesia.


Melesak 80 Cm

Faktor usia, ditambah  terjangan badai tropis dan seringnya pasang air laut, menjadikan Museum Bahari (bekas gudang tua) itu makin melesak dan tenggelam sedalam 80 Cm. “Lihatlah  pintu-pintu dilantai bawah. Tampak pendek karena melesak kedalam tanah urugan akibat pasang laut ditiap musim. Dahsyatnya fenomena alam yang mengirim air laut dan menggenangi seluruh areal Museum, menjadikan bekas gudang tua itu kini makin  membenamkan sosoknya kedalam bumi. Kalau tidak diurug, air laut pasang akan terus menggenang”.ungkap MA Yanto, mantan Wakil Kepala Museum Bahari.

Akibat urugan tanah itulah  menjadikan plafon ruang pamer di lantai bawah tampak menjadi lebih pendek mendekati lantai. Tetapi yang memprihatinkan ialah pintu masuk ruang pamer yang makin rendah itu memaksa wisatawan Eropa yang tubuhnya jangkung harus menundukan kepala saat  melewati pintu masuk. Tetapi kata MA Yanto, wistawan bule itu tidak mengeluh bahkan tertawa gembira.



Pusat wisata bahari

Mimpi Pemda DKI Jakarta sejak Gubernur Sutiyoso berkuasa hingga turun panggung, gagal  mengusung seputar Museum Bahari menjadi pusat wisata laut terbesar dan mewah. “Saya tidak tahu persis kenapa rencana akbar menata,  meningkatkan derajat Museum Bahari dan seputar Pasar Ikan menjadi tempat wisata indah, nyaman dan menyandang fungsi ekonomi harus dibatalkan”, ungkap MA Yanto, yang waktu itu menjabat Wakil Kepala Museum Bahari, kepada wartawan .

Lebih jauh MA Yanto mengatakan, rencana tersebut sebetulnya menjadi prioritas utama bagi pengembangan wisata bahari di Teluk Jakarta. Bahkan katanya untuk menggolkan mimpi Pemda DKI Jakarta itu katanya sudah berulangkali dibicarakan dalam berbagai pertemuan para pejabat Pemda DKI  Tetapi mungkin karena  tidak tersedianya anggaran yang memadai dan tidak adanya  investor, tidak dapat diwujudkan.  Padahal  Pemda DKI Jakarta waktu itu sedang giat-giatnya melaksanakan sejumlah proyek besar lainnya yang lebih bermanfaat    

Bila mimpi Pemda DKI Jakarta terealisir, maka diseputar Museum Bahari akan lebih hidup. Rencananya dulu disekitar situ akan dibersihkan kemudian dirombak total. Termasuk pasar dan bangunan keong yang tampak kumuh. Sepanjang daratan di depan Museum Bahari akan digali sehingga menyatu dengan pantai laut Sunda Kelapa. Disitu wisatawan dapat menikmati perahu layar dan menghirup udara malam yang segar. Selain itu bisa menikmati hidangan khas seafood  di restoran apung yang letaknya tak jauh dari Museum Bahari. (Tjok Hendro)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar