Minggu, 05 September 2010

KOTA, MANUSIA & LINGKUNGANNYA

Saturday, August 19, 2002


Badai Di Kota Manado Tahun 2002


Oleh: Veronica Kumurur

Angin barat menerjang Pantai Teluk Manado, cafe-cafe disapu habis, untunglah tidak ada korban jiwa. Lihat saja puing-puing sabua-sabua yang rata dengan tanah. Begitulah jika angin barat mengamuk. Yang jadi pertanyaan kita semua, apakah bangunan-bangunan yang ada di sekitar garis pantai Teluk Manado kokoh menghadang amukan angin barat ini??

PENCEMARAN PERAIRAN TELUK BUYAT, SULAWESI UTARA INDONESIA

Oleh: Veronica Kumurur

Kasus Buyat mendapatkan rating tertinggi dalam kasus pencemaran lingkungan hidup di dunia di tahun 2004. Jika itu adalah album lagu, barangkali sudah mendapatkan hadiah “piringan emas" akibat menjadi “the best seller in the world 2004”.

Kasus pencemaran lingkungan di dunia yang nyaris mampu menyamakan rekor kasus “Minamata Deases” di Teluk Minamata Jepang dimasa itu. Bumi Sulawesi Utara (Sulut) yang menjadi lokasi terciptanya kasus menghebohkan dunia yang sebetulnya sejak tahun 2001 sudah sangat menghebohkan dunia internasional, sehingga tercipta suatu kerjasama internasional untuk mengadakan suatu “International Conference” tentang “System Tailing Displacement (STD)” di Kota Manado (ibukota Sulut). Tak kurang dari 10 negara hadir di acara tersebut dan sempat menerbitkan “deklarasi Manado”. Kerjasama Jaringan Tambang Indonesia (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Pusat maupun daerah Sulut serta berbagai organisasi internasional yang menghadirkan negara-negara yang menjadi korban perusahaan-perusahaan tambang emas skala besar dan kecil seperti Papua Nugini, Pilipina.

Hanya saja, kegiatan ini tidak digubris oleh pemerintah pusat maupun daerah, sambutan dingin dan tidak bersahabat cenderung tercipta antara para masyarakat (nasional & internasional) terhadap kegiatan tambang yang cenderung merampas hak hidup (termasuk hak mendapatkan lingkungan hidup bersih) orang-orang kecil (local community). Sudahlah, semuanya juga sudah tahu bahwa, investasi skala besar akan lebih diperhatikan di negara ini dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakatnya. Padahal, dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi kata-kata pembuka bagi rangkaian pidato-pidato saat indstri skala besar beroperasi, urusan benar-benar masyarakat benar sejahtera atau tidak, urusan lain.

Karena urusan sejahtera atau tidak inilah yang menjadi problem di setiap negara yang menduduki suatu wilayah, dimana selalu saja masyarakatnya hidup di bawa garis kemiskinan, termasuk yang terjadi di daerah kita Teluk Buyat Sulawesi Utara. Akibat kegiatan pertambangan skala besar oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), ekosistem perairan laut di teluk Buyat rusak parah akibat buangan 2000 ton tailing setiap hari. Bukan saja itu, kondisi masyarakat di sekitar Teluk Buyat yang mengantungkan hidupnya dari hasil laut dan harus bertahan hidup di wilayah tersebut karena tekanan kemiskinan harus menerima akibat dari pencemaran dan perusakan ekosistem Perairan Teluk Buyat. Terkontaminasi logam berat arsen, lahan tangkapan ikan berpindah jauh ketengah laut, yang semuanya itu menurunkan kualitas hidup sebagian masyarakat Desa Buyat tepatnya masyarakat di dusun V Desa Buyat Pante.

Limbah yang akan mengakibatkan biaya tambahan bagi masyarakat akibat kegiatan perusahaan yang seharusnya tidak keluar ke alam bebas, justru sengaja dikeluarkan melalui pipa sepanjang 900 meter dari tepi pantai Teluk Buyat. Akibatnya menimbulkan biaya pencemaran bagi masyarakat sekitar Teluk Buyat atau eksternal cost. Seharusnya ini menjadi biaya internal bagi perusahaan tersebut. Laut? ya, itulah pilihan PT. NMR untuk membuang sampahnya, dengan harapan eksternal costnya hilang. Lucu dan sungguh sangat tolol, bahwa memikirkan laut adalah lahan bebas yang tidak akan berhubungan dengan kehidupan manusia. Coba, kita pikirkan secara teologis, apakah Tuhan menciptakan laut untuk tempat buang sampah? Bukankah di setiap kitab suci agama yang menceritakan penciptaan bumi ini, dikatakan bahwa laut adalah tempat ikan-ikan dan makhluk hidup lainnya. Yang secara rantai makanan akan berhubungan dengan manusia.

Dalih 82 meter sebagai zona termoklin, sungguh sangat tidak masuk akal, coba saja bapak-bapak yang mengatakan itu, menyelam dan masuk ke kedalaman tersebut, apakah tailing (sludge dan air) tidak bercampur dengan air laut atau tidak naik ke permukaan? Tahun 2001, Walhi Sulut sudah melakukan penyelaman dan terlihat sungguh sangat keruh air dikedalaman itu, di mana menandakan bahwa sedimen betul-betul naik ke permukaan. Jadi, teori termoklin yang selalu digunakansebagai pelindung bagi buangan PT. NMR perlu direvisi, apakah zona termoklin indikatornya karena kedalaman ataukah kondisi suhu tertentu suatu perairan yang permanen dan bukan temporer (seperti yang terjadi di daerah tropis).


Kita suku dan masyarakat yang diberikan kesempatan untuk lahir di bumi Sulawesi Utara (Sulut), tidak hanya dititipkan begitu saja, tetapi diberikan tanggungjawab untuk menjaga dan memelihara tanah dan sumberdaya alam lainnya di negeri ini, karena itu pula kita harus bijak dan pinter memilih kegiatan apa saja yang boleh dan dapat dilaksanakan di negeri ini.

Pencemaran Teluk Buyat adalah bentuk bencana ekologis yang merupakan suatu bukti tidak bertanggungjawabnya kita melindungi bumi Sulut sebagai tempat tinggal dan hidup. Perusakan ekosistem laut akibat timbunan “tailing” yang mengandung logam-logam berat yang mengkontaminasi biota dan bahkan meracuni masyarakat sekitar yang bermukim di sekitar “point source” yang sangat mengantungkan hidupnya dari hasil laut perairan tersebut. Barangkali kontaminasi itupun telah tersebar di sebagian masyarakat Sulawesi Utara melalui ikan-ikan yang telah dikonsumsikan karena dampak pencemaran ini secara ekologi akan melintasi wilayah administrasi suatu wilayah.

Pencemaran logam berat terutama logam arsen dan logam merkuri oleh PT. NMR sudah jelas-jelas terbaca pada laporan-laporan RKL/RPL dan sejak tahun 2000 semua itu sudah terlihat, namun masih saja dianggap perusahaan raksasa ini tidak melakukan pencemaran di perairan Teluk Buyat.

Cilakanya, hampir ahli-ahli dari seluruh Indonesia bahkan luar negeri melalui pernyataan-pernyataan yang di up-load di media internet menyatakan paham bagaimana PT. NMR melakukan pencemaran, malahan penyelenggara pemerintahan dan sebagian dokter dan akademisi dari Sulut masih menyangsikan bahwa PT. NMR melakukan pencemaran. Sudah jelas-jelas ada masyarakat yang memiliki banyak benjolan di sekujur tubuhnya dan ikan karangpun demikian, masih saja kepala Bapedal Sulut mengatakan bahwa mereka bukan orang-orang asli dari dusun V Desa Buyat Pantai. Padahal sejak tahun 1999-2000 masyarakat Buyat sudah di pantau. Dan masih saja dikatakan itu adalah penyakit biasa menimpa masyarakat pesisir, padahal dimana-mana benjolan tidak ditemukan di masyarakat pesisir Pantai lainnya seperti di Teluk Jakarta, masyarakat Bajo sebagian masyarakat kota Manado yang tinggal di pesisir.
Jadi, jelas sekali PT NMR masih lebih diuntungkan dibandingkan dengan masyarakatnya sendiri, padahal dengan adanya atau tanpa perusahaan semacam ini kesejahteraan masyarakat Sulut tidak berubah atau tidak ada perubahan positif yang siknifikan dibandingkan jika harga cengkih dan kopra naik. Malahan, sebetulnya kita mengeluarkan biaya atau “cost” tambahan akibat kita harus menanggung “external cost” perusahaan ini akibat pencemaran dan perusakan lingkungan alam. Artinya, terjadi penurunan kualitas hidup dalam waktu yang panjang, apalagi ketika 2 perusahaan semacam ini akan beroperasi di Likupang dan di Bolaang Mongondow, pastilah kualitas hidup masyarakat Sulut akan menurun dengan tajam di masa datang.
Jadi untuk kesejahteraan masyarakat yang mana jika ada perusahaan raksasa beroperasi di Sulut? Untuk seluruh masyarakatkah atau untuk sebagian masyarakat yang dipilih oleh investor? Apakah negeri ini harus mengorbankan sebagian besar masyarakatnya untuk memberikan keuntungan pada sebagian masyarakat Sulut yang terpilih itu? Nah inilah yang menjadi persoalan yang banyak terjadi dalam pengelolaan lingkungan hidup.


Kasus Buyat, menjadi salah salah satu model pengelolaan lingkungan hidup yang harus mengorbankan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan (yang terlihat) dan mengorbankan seluruh masyarakat Sulut sebetulnya (bencana ekologis) di masa datang. Inilah kenyataan yang mesti masyarakat Sulut hadapi, terpilihnya daerah kita sebagai lahan eksploitasi emas dan terpilihnya tanah kita sebagai ajang buang sampah beracun akibat kegiatan pengelolaan emas yang bakal mengancam keberadaan masyarakat Sulut dimasa datang.

Tahap-tahap dalam pengelolaan lingkungan hidup masih tidak terlaksana dengan baik di bumi Sulut. Jika ada perencanaan, sering kali tidak didasari oleh hasil evaluasi dari kegiatan yang sudah berjalan. Pelaksanaan suatu kegiatan seringkali tidak sesuai dengan rencana, selalu disesuaikan dengan budget yang ada, dan seringkali kenyataannya biaya kegiatan yang dikeluarkan lebih kecil dari biaya yang sudah diajukan, dalihnya ada pemotongan dimana-mana (korupsi?), yang sudah menjadi lazim dilaksanakan pabila berurusan dengan pemerintah. Demikian pula dengan pengawasan terhadap suatu kegiatan, apakah merusak lingkungan atau tidak, selalu juga terbentur pada biaya pengawasan atau lebih tepat sesuai saja dengan biaya pengawasan sehingga pengawasan hanya dilakukan sepanjang mata memandang. Padahal kegiatan pengawasan adalah kegiatan yang amat penting untuk tetap membuat rencana dan pelaksanaan konsisten dengan komitmen mensejahterakan masyarakat Sulut. Akhirnya, kegiatan evaluasi tidak dapat dilakukan dengan baik, padahal hasil evaluasi merupakan data yang akan dimasukkan (input) kembali pada suatu proses perencanaan. Tahap-tahap inilah dalam pengelolaan yang semestinya sangat diperhatikan tapi justru inilah tahap yang rawan dan seringkali terjadi manipulasi (data maupun uang).

Terlepas era kapan PT. NMR diijinkan untuk beroperasi di bumi Sulut, tetap saja saat kini yang menentukan apakah perlu dipertahankan atau ditutup sama sekali dan jika ada kegiatan yang serupa yang akan beroperasi di Sulut, tidak diperbolehkan sama sekali untuk membuang tailing di dasar laut. Perencanaan investasi di era Presiden Suharto, bukan tidak bisa dievaluasi di era Presiden Susilo Bambang Yodoyono kini, itulah yang disebut dengan evaluasi dalam suatu pengelolaan lingkungan hidup. Hasil evaluasi tersebut akan menjadi suatu perencanaan baru. Jika kegiatan tersebut hanya untuk menyengsarakan masyarakat Sulut saat ini dan di masa datang (10-20 tahun), lebih baik tidak diperbolehkan lagi berkegiatan di bumi Sulut dan tentunya harus melakukan kegiatan perbaikan (rehabilitasi) akibat pengrusakan yang telah dilakukan pada seluruh komponen alam dan manusia.

KONDISI KECAMATAN MODOINDING, KABUPATEN MINAHASA SELATAM

By: Veronica Kumurur
Kawasan Modoinding Kabupaten Minahasa Selatan yang diambil melalui satelit (google). Wilayah ini menjadi DAPUR Sulawesi Utara, nyaris semua bumbu-bumbu dapur, sayuran, diproduksi dari sini. Kawasan ini berada di ketinggian lebih dari 1000 meter dpl, dan tempat tertinggi berada di Desia Kakenturan (1.350 dpl).
Masyarakat dan pemerintah disini terus mengembangkan menjadikan wilayah ini perkebunan sayuran, dan lebih spektakuler lagi akan dijadikan KAWASAN AGROPOLITAN.
Namun sayang, eksploitasi dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak berimbang dengan pelestarian Alam di kawasan ini, lihat saja penggundulan hutan yang tidak diikuti dengan reboisasi, cenderung merusak sumberdaya alam lain di wilayah ini, seperti sumber air di Danau Mooat, menganggu iklim mikro yang membuat tanaman-tanaman disini subur.


PENTINGNYA EKOSISTEM HUTAN BAGI KEHIDUPAN MANUSIA: Suatu pandangan terhadap kegiatan penebangan hutan di Minahasa




Hutan merupakan satu ekosistem yang sangat penting di muka bumi ini, dan sangat mempengaruhi proses alam yang berlangsung di bumi kita ini. Ada 7 fungsi hutan yang sangat membantu kebutuhan dasar “basic needs” kehidupan manusia, yaitu:
  1. Hidrologis, hutan merupakan gudang penyimpan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada khirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai melalui mata air-mata air yang berada di hutan. Dengan adanya hutan, air hujan yang berlimpah dapat diserap dan diimpan di dalam tanah dan tidak terbuang percuma.
  2. Melihat topografi Minahasa, bergunung-gunung dan terjal, sehingga banyak lahan-lahan kritis yang mudah tererosi apabila datang hujan. Keberadaan hutan sangat berperan melindungi tanah dari erosi dan longsor.
  3. Hutan pula merupakan tempat memasaknya makanan bagi tanaman-tanaman, dimana di dalam hutan ini terjadi daur unsur haranya (nutrien, makanan bagi tanaman) dan melalui aliran permukaan tanahnya, dapat mengalirkan makanannya ke area sekitarnya. Bayangkan jika kita tak punya lagi dapur alami bagi tanaman-tanaman sekitarnya ataupun bagi tanaman-tanaman air yaang ada di sungai-sungai, maka bumi Minahasa akan merana.
  4. Fungsi penting hutan lainnya adalah sebagai pengatur iklim, melalui kumpulan pohon-pohonnya dapat memprduksi Oksigen (O2) yang diperlukan bagi kehidupan manusia dan dapat pula menjadi penyerap carbondioksida (CO2) sisa hasil kegiatan manusia, atau menjadi paru-paru wilayah setempat bahkan jika dikumpulkan areal hutan yang ada di daerah tropis ini, dapat menjadi paru-paru dunia. Siklus yang terjadi di hutan, dapat mempengaruhi iklim suatu wilayah.
  5. Hutan memiliki jenis kekayaan dari berbagai flora dan fauna sehingga fungsi hutan yang penting lagi adalah sebagai area yang memproduksi embrio-embrio flora dan fauna yang bakal menembah keanegaragaman hayati. Dengan salah satu fungsi hutan ini, dapat mempertahankan kondisi ketahanan ekosistem di satu wilayah.
  6. Hutan mampu memberikan sumbangan hail alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang industri, selain kayu hutan juga menghasilkan bahan-bahan lain seperti damar, kopal, terpentein, kayu putih, rotan serta tanaman-tanaman obat.
  7. Hutan juga mampu memberikan devisa bagi kegiatan turismenya, sebagai penambah estetika alam bagi bentang alam yang kita miliki.
Dari 7 fungsi penting hutan bagi kehidupan manusia, bagaimana nasibnya dengan hutan di Minahasa (khususnya di Liandok) yang semakin hari ditebang saja tanpa ada pengelolaan benar. Padahal areal ini berada pada area “watershed” di Minahasa bagian selatan. Berada pada posisi awal yang menangkap air hujan, berada pada area yang kritis yang sulit dijangkau oleh manusia. Dengan posisi demikian sangat pentinglah fungsi hutan ini bagi keberadaan sungai-sungai dan kehidupan manusia di wilayah ini. Karena, jika dibiarkan ditebang dan dimusnahkan dan bahkan dialihfungsikan, maka bakal terjadi erosi (pengikisan lahan) yang tinggi oleh hujan dan bakal terjadi kerusakan lahan (seperti longsor) dan bakal mengikis humus (makanan) yang berada di permukaan tanah sehingga lahan menjadi tandus (miskin makanan). Hujan yang tak tertampung lagi menjadi penyebab banjir bagi sungai-sungai sekitarnya.
Hutan Liandok seluas 1600 ha, memang bukan saja milik masyarakat sekitarnya, tetapi milik semua manusia yang tinggal di Minahasa, di Manado, di Sulawesi Utara, sehingga semua masyarakat semestinya menjaga dan peduli dengan cara-cara pengeksploitasiannya (pembabatan yang semena-mena) dengan dalih dan tameng kebutuhan masyarakat. Karena akibat dari pembabatan yang tak terkendali ini, akan memberikan dampak langsung bagi semua orang di Minahasa bagian selatan dan bahkan semua yang tinggal di Minahasa, tidak memberikan dampak langsung bagi pengusaha-pengusaha yang hanya datang dan melakukan ekploitasi. Hanya sesaat kita akan menikmati kekayaan itu yang selanjutnya adalah “badai’.
Hutan Liandok adalah bagian hutan tropis yang sangat penting yang masih kita miliki dan tak dimiliki oleh dunia belahan barat. Di hutan ini kita memiliki keanegaraman hayati yang tinggi yang artinya, kita memiliki jenis-jenis tanaman dan hewan yang banyak jenisnya namun sedikit jumlahnya, akibatnya jika hutan ini berkurang maka akan sangat mempengaruhi jumlah jenis flora dan fauna dan akibat lainnya adalah membuat kondisi ekosistem tidak seimbang. Jika dibandingkan dengan hutan yang dimiliki daerah benua bagian barat, yang dikenal dengan hutan “temperate”, dimana jumlah jenis tanaman dan hewan tidak beraneka ragam dan jumlah setiap jenis banyak jumlahnya sehingga apabila hutan ini terganggu maka tidak akan mempengaruhi jumlah jenis (spesies) tanaman dan hewan di hutan itu.
Tanaman-tanaman dan hewan-hewan di hutan tropis seperti di hutan Liandok sangat penting fungsinya bagi ketahanan Ekosistem di wilayah Minahasa dan seluruh wilayah Sulawesi Utara, tidak hanya sekarang ini tetapi di masa datang.
Jika dalih, masyarakat sangat membutuhkan pemenuhuan ekonomi sehingga harus membabat hutan di wilayah ini, rasanya tidak benar. Karena dari hasil hutan saja sudah dapat kita olah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kita yang ada di Minahasa dengan luas wilayah yang kita miliki, dibandingkan dengan saudara-saudara kita di P. Jawa, kita masih memiliki areal yang sangat luas untuk berusaha dan mnegelola hutan kita. Kita belum pada posisi wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan belum pada tidak memiliki lahan lagi, jadi kita masih punya kesempatan untuk mengelola hutan kita, untuk tetap ada dan tetap berfungsi memberikan keuntungan ekologis bagi kehidupan kita saat ini dan untuk dimasa datang. Sudah terlihat contohnya, jika satu wilayah tak memiliki hutan lagi seperti P. Jawa, yang kini tak bisa membendung atau menanggulangi amukan alam. Tak ada lagi tempat menyimpan air bagi daratan P. Jawa. Semua hutan mereka telah berubah menjadi lahan budidaya dan lahan permukiman. Itu adalah contoh yang bisa kita lihat saat ini dan kita di Sulawesi Utara, di Minahasa, kini telah di “warning” melalui kejadian banjir bandang di akhir tahun 2000, untuk tidak melakukan hal yang sama. Cobalah masyarakat memahami untuk melindungi lingkungan hidupnya sendiri, janganlah meninggalkan “badai” bagi anak cucu di masa datang. Yang saya tahu dan membaca dari sejarah Minahasa, kita masyarakat Minahasa memiliki etika yang tinggi terhadap lingkungan hidup kita. Coba lihat, kita selalu meminta pertolongan dan petunjuk “Opo Wananatas” di dalam melakukan kegiatan. Jangan sampai kebiasaan ini menjadi hilang akibat ulah investor besar yang melumpuhkan kebiasaan atau “etika lingkungan” kita. Opo Wananatas akan sedih dan murka akibatnya.

Refleksi kondisi lingkungan hidup Sulawesi Utara 2004


Oleh: Veronica A. Kumurur

Sudah kira-kira 1 bulan kita menikmati tahun 2005, dan banyak kejadian alam yang mengawali tahun 2005. Bencana gempa di Nabire Papua, bencana tanah longsor, bencana tsumani di Aceh dan terakhir bencana banjir yang nyaris melanda semua daerah di Indonesia. Banyak manusia-manusia yang mati akibat amukan alam. Mengapa semua ini terjadi? Ataukah memang kejadian ini memang sudah semestinya terjadi? Banyak analisa yang sudah dilakukan, dan sebagian besar analisa mengatakan bahwa memang kejadian ini mesti terjadi, dan memang semestinya kita menerima semua ini. Sebetulnya, jika kita merenungi dan menggelar kembali album kehidupan kita, sepertinya tidak ada potret-potret yang mengatakan bahwa manusia semakin bersahabat dengan alam tempat tinggalnya. Tak ada satupun potret cantik bagaimana manusia menghargai alam. Yang ada hanyalah gambar-gambar bagaimana manusia menghancurkan alam, merobah alam tanpa tanggungjawab, mencemari alam dengan bahan-bahan beracun tanpa peduli akibatnya bakal kemanusia juga. Kita manusia lupa bahwa alampun melakukan siklus hidup dan adaptasi seperti layaknya manusia hidup dan beradaptasi dengan tempat hidupnya. Kita manusia lupa bahwa alampun seringkali menangis dan menanti membalas dendamnya akibat dicampakkan manusia, dimana manusia menganggap alam itu mati dan tak memiliki roh kehidupan, manakala manusia tidak menghargai alam sebagai suatu kehidupan nyata.


Jika kita ingat bersama, diawal bumi diciptakan, manusia adalah makhluk yang termulia yang dititipkan penciptanya untuk menata atau mengelola buminya. Mengelola berarti me”manage” atau merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan melakukan evaluasi untuk setiap kegiatan yang akan dilakukan bagi bumi ini. Tujuannya adalah agar bumi ini tetap berlanjut dan memberikan kehidupan terus-menerus bagi manusia.

Sulawesi Utara (Sulut) adalah bagian dari bumi yang memerlukan pengelolaan baik terhadap alamnya atau sumberdaya alam, terhadap sumberdaya buatan maupun tata sosial manusia. Banyak kegiatan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi manusia semata yang terus bertumbuh di Sulawesi Utara. Kegiatan ini menjadi baik jika kepentingan ekonomi dan kepentingan terhadap kehidupan alam berimbang untuk diperhatikan. Namun apa yang terjadi? Kegiatan-kegiatan ekonomi yang merusak tatanan lingkungan hidup semakin menjadi primadona di wilayah ini. Sebetulnya kegiatan-kegiatan ini akan menjadi baik jika pengelolaannya baik pula.

Pencemaran Teluk Buyat, merupakan satu contoh nyata,suatu kegiatan yang tidak mementingkan kehidupan alam dan manusia. Kepentingan ekonomi menjadi tujuannya semata, walaupun sering dikamuflase dengan perusahaan yang beretika yang memiliki cara pengelolaan yang sangat baik. Padahal semua itu hanyalah tulisan diatas kertas, hanyalah suatu pernyataan idealisme yang konyol, hanyalah suatu pernyaan diri yang sombong dan tidak pernah merasa bersalah dengan kegiatan yang dilakukan. Teknologi bolehlah mereka bilang canggih, tapi kenyataan di alam (lapanganlah) yang menentukan semua itu. Dan kenyataannya akibat kegiatan perusahaan tambang emas raksasa ini perairan Teluk Buyat tercemar. Manusia-manusia di sekitar perusahaan ini menjadi korban pencemaran yang dilakukannya.
Mungkin benar, jika perusahaan tersebut selalu bertahan tidak melakukan kesalahan, padahal sudah sangat terbukti apa yang dilakukannya sudah merusak perairan Teluk Buyat. Karena, mana ada perusahaan yang selalu jaim (jaga image) mau mengaku dengan kesalahan yang telah diperbuatnya.


Sehingga yang patut disalahkan disini adalah Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sulawesi Utara, yang tidak melakukan uji “fit and proper test” pada perusahaan raksasa (PT. Newmont Minahasa Raya/NMR) untuk dinyatakan layak perusahaan ini berinvestasi di Sulawesi Utara Indonesia. Referensi tidak cukup untuk menyatakan kelayakan perusahaan. Kesalahan selanjutnya, pemerintah kita tidak melakukan suatu pengelolaan (proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi) yang baik terhadap perusahaan tersebut. Pemerintah kita terlalu mempercayai akan teknologi yang mereka tawarkan dan sodorkan, termasuk cara mereka membuang sampah (tailing) di kedalaman laut 82 meter (dianggap zona termoklin) di perairan Teluk Buyat, tanpa mengkaji apakah zona termoklin tersebut karena kedalaman ataukah karena adanya suhu tertentu yang permanen, sehingga tailing tidak akan mengambang ke zona rantai makanan. Pencemaran Perairan Teluk Buyat sudah terjadi dan efeknya terhadap manusia sekitarnya sudah terbukti. Tinggal menunggu bukti-bukti lain di masa datang atau 20-30 tahun lagi.

Kasus Buyat, merupakan kisah pengrusakan lingkungan yang cukup parah dibandingkan keuntungan yang diperoleh sebagian besar masyarakat Sulut. Kisahn ini juga merupakan suatu sebagian kegagalan Pemerintah Sulut mengelola lingkungan hidup di Sulawesi Utara. Seharusnya ini diakui sebagai suatu “case study” yang tidak bakal terulang lagi. Namun, ternyata masih ada kejadian-kejadian pengrusakan lingkungan yang bakal terjadi dan kini menjadi gundah kita bersama. PT. Meares Soputan Mining, PT. Avocet yang kini siap melakukan ekploitasi dan pengolahan emas di bumi Sulawesi Utara dengan metode yang sama.
Nah, apakah laut sumber kehidupan kita harus kita relakan dikotori dan diracuni oleh bahan-bahan kimia yang dibuang perusahaan-perusahaan ini demi investasi dan pertumbuhan ekonomi yang hanya sejenak memberikan kenikmatan bagi sebagian manusia Indonesia dan Sulut, dibandingkan dengan akibat buruk yang bakal didapat hanya oleh manusia Sulawesi Utara yang bersifat permanen atau selamanya?


Ungkapan pilihan ini hanya mampu diutarakan melalui tulisan ini. Pilihan akan sangat bergantung pada Pemerintah Sulawesi Utara yang menjadi wakil masyarakat bumi Sulut. Bergantung pada moral, etika serta pemahamannya sebagai seorang pemimpin (leader) Sulut dalam melakukan pilihan untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat Sulut dari pada semata-mata “economy oriented”. Kemampuan seorang pemimpin membawa rakyatnya menuju suatu titik kemakmuran dengan sehat jasmani dan rohani dan memiliki generasi yang berlanjut serta kemampuan seorang pemimpin mengelola lingkungan Sulawesi Utara agar tetap berlanjut dan selalu memberi kehidupan bagi masyarakatnya.

Karena alam ini harus tetap hidup dan melakukan siklus kehidupan, demikian pula manusia. Maka, dengan mengelola lingkungan hidup (alam, buatan dan manusia) dapat meminimalkan dampak buruk dari bentuk penyesuaian diri alam (seperti penyesuaian bentuk bumi yang mengakibatkan gelombang tsunami). Pengelolaan dapat dilakukan dengan melakukan konservasi hutan bakau (untuk meminimalkan kekuatan gelombang tsunami), konservasi binatang liar (sebagai “natural early warning system”), menanam pohon di hulu sungai (menghindari banjir), serta tidak membuang sampah atau tailing ke dasar laut (menghindari tercemarnya rantai makanan dengan limbah B-3 yang sangat memberikan dampak buruk bagi kehidupan manusia).

SEHARUSNYA DOKUMEN AMDAL DISETUJUI DAHULU SEBELUM KEGIATAN PEMBANGUNAN DILAKSANAKAN:



Sekali lagi, dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999, adalah suatu dokumen kelayakan lingkungan dan lebih jelas lagi bahwa dokumen ini dibuat untuk memproteksi (melindungi) lingkungan hidup suatu wilayah yang bakal terkena dampak negatif yang besar dan penting akibat suatu kegiatan pembangunan. Dalam dokumen ini ada kajian-kajian terhadap dampak negatif yang besar dan penting yang akan mempengaruhi turunnya kualitas lingkungan hidup suatu wilayah. Dan didalamnya pula ada rencana pemantauan lingkungan (RPL) yang memiliki kegunaan untuk memantau dampak-dampak negatif yang timbul disaat kegiatan itu telah beroperasi atau telah dilaksanakan dan ada rencana pengelolaan lingkungan (RKL) yang memiliki guna untuk memberikan laporan bagaimana upaya pemrakarsa mengelola dampak-dampak negatif penting selama kegiatan operasional bangunan berlangsung. RPL dan RKL ini biasanya dilaporkan setiap 3 bulan oleh pemrakarsa (pemilik). Biasanya pula pemilik atau pemrakarsa akan memilih konsultannya sendiri untuk membuatkan dokumen laporan ini. Dokumen AMDAL ini penting untuk tetap menjaga keseimbangan lingkungan hidup suatu wilayah yang tentunya bertujuan untuk suatu keberlanjutan lingkungan, sehingga begitu pentingnya kapabilitas konsultan pengkaji. Dan harus diingat, bahwa mengkaji suatu kegiatan ini harus dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu dan melibatkan berbagai ahli dibidangnya (sosiolog, psikolog, arsitek, dokter, hukum, ahli sipil, ahli pertanian, ahli perikanan, ahli kehutanan, dll) dalam konsultan pengkaji tentunya bergantung pada kegiatan apa yang akan dikaji. Ini disebabkan oleh kegiatannya berada dan berlangsung di tengah-tengah lingkungan hidup (lingkungan alam, sosial dan buatan). Maka itu, disiplin ilmu lingkungan bukan saja didominasi oleh ahli perikanan atau ahli pertanian, kimia atau biologi. Demikian juga kajian AMDAL, bukan saja dilaksanakan oleh ahli tertentu saja. Kajian akan terasa pincang dan mengada-ada jika tidak dikaji secara lintas disiplin.
Mari kita lihat apa yang terjadi di KOTA MANADO yang berkaitan dengan penaatan terhadap dokumen AMDAL, mulai dari pembuatan dokumen ini sampai pada pelaksanaan penaatan terhadap komitmen pemrakarsa yang tercantum dalam dokumen ini.

Kawasan Boulevard dan bangunan-bangunannya, kini hampir saja selesai. Posisi dan bentuk bangunannya, baik secara jelas sekarang telah terlihat, maupun yang masih diiklankan di media masa ataupun melalui “billboard-billboard” atau papan iklannya sudah dapat memberikan gambaran nyata di mata kita semua “orang Manado”, bahwa sebentar lagi jalan “Boulevard” tidak seindah namanya lagi. Bahwa jalan Boulevard akan berubah jajaran beton bak “Jalan Sabang di Jakarta atau Kawasan Pasar Baru masih di Jakarta atau kawasan Pasar Pagi masih di kota Jakarta”, kawasan yang penuh sesak tak hanya oleh beton, tetapi oleh asap kendaraan dan manusia-manusia yang siap menghirupnya. Itulah kenyataan dimasa datang di kota pantai Manado. Semua akan berubah, dari gratis menjadi bayar untuk memanfaatkan “view” atau pemandangan laut. Seolah, argumentasi dan protes kita semua masyarakat (tanpa pemerintah dan investor) KOTA MANADO untuk berupaya mendapatkan area publik (umum) yang gratis atau mendapatkan lingkungan alam (laut dan udara) yang bersih dan sehat bakal tak akan terwujud dan hanyalah menjadi impian saja. Dan terlebih lagi disatu saat akan menjadi barang yang mewah yang hanya bisa dijangkau atau dibeli oleh yang punya “duit”.

Sampai pada akhirnya, kita bersepakat bahwa “oke-lah” memang membongkar Central Business District (CBD) Boulevard di KOTA MANADO ini memang tak dapat demikian saja dilakukan dan akhirnya pula dalih bahwa CBD Boulevard adalah produk dari orde baru yang tak dapat digoyahkan pada saat itu oleh siapapun. Seolah kita memang sudah rela melepaskan pemandangan Pantai Teluk Manado dirampas oleh orang-orang yang punya “Power & Money (kekuasaan & uang)”. Biarlah, itu menjadi tonggak catatan sejarah “suatu kesalahan” yang pernah dilakukan oleh pemimpin propinsi ini di jaman orde baru, yang telah kita catat bersama, siapa-siapa saja yang telah melakukan ini semua.

Namun, bukan berarti kita masyarakat menerima saja keadaan itu, tapi kita meminta untuk meminimalkan kerusakan yang bakal terjadi dengan cara membuat “Sewage Treatment Plant (STP)” atau unit pengolahan limbah di lokasi CBD ini, dan mengatur sistim drainase di kawasan itu dan juga meminta ruang-ruang publik gratis (free of charge) di areal ini. Membuat akses gratis bagi masyarakat dimana masyarakat kota ini masih bisa berjalan dari ujung CBD (belakang Jumbo) sampai ke ujung lainnya (area Mall Manado Bahu). Itu semua yang teridentifikasi dalam upaya meminimalkan kerusakan lingkungan hidup (lingkungan alam, sosial dan buatan) di KOTA MANADO. Dan kelihatannya permintaan itupun tak kunjung terlihat dan akan dibuat. Mengapa? Lihat saja pembangunan yang ada saat ini, batas antara pengembang satu dengan pengembang lainnya dibatasi dengan nyata dan kuat dan jika salah satu pengembang akan melewati batas pengembang lainnya, maka terjadilah pertengkaran antar pengembang (beberapar contoh dan kejadian sudah terjadi). Menuntut adanya STP? Kelihatannya juga tidak akan dibuat? Maka lengkaplah sudah apa yang dikuatirkan oleh masyarakat Kota Manado. Mengapa juga demikian? Jawabannya adalah bahwa kawasan CBD hanya punya kajian AMDAL Timbunan Pantai, bukan kajian AMDAL kegiatan pembangunan yang ada diatas lahan baru tersebut. Yang kata Kepala Bapedal Propinsi Sulut Bapak Bonnie Sompie, kajian AMDAL yang sudah ada sudah cukup (Jawaban yang pernah dilontarkan ditahun 2001). Kini, buktinya saat ini adalah kegiatan pembangunan yang ada diatas lahan baru ini yang berupa shopping centre (mall), hotel, marina, apartemen, villa sudah dan bakal dibangun di atas lahan baru ini yang justru dampak negatif dari kegiatan-kegiatan inilah yang bakal terjadi dimasa datang. Bukan lagi dampak dari lahan baru hasil timbunan pantai ini. Tapi mana kajian AMDAL dari masing-masing pengembang yang melakukan pembangunan di atas lahan ini? Dan bagaimana pula menuntut para pengembang untuk melakukan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) sementara mereka tidak punya kajian AMDAL dari masing-masing kegiatannya. Yang ada adalah RKL/RPL akibat dari timbunan pantai Teluk Manado secara keseluruhan, nah, siapa yang akan membuatnya??? Pemrakarsa yang mana? Kembali lagi, dokumen ini hanya menjadi pemanis saja, hanya menjadi pelengkap dan tuntutan administrasi saja.

Dari kejadian ini, dokumen AMDAL di KOTA MANADO masih menjadi alat legitimasi. Kita tidak usahlah melihat kondisi umum di Indonesia yang memang dokumen ini masih dijadikan pelengkap saja. Cara seperti ini hanyalah upaya mencari teman dalam melakukan kesalahan dan buang-buang waktu saja. Berpikirlah untuk merubah diri sendiri, ini adalah tindakan yang irit ongkos dan tidak buang-buang waktu. Coba kita lihat (baca dan saksikan) di media massa yang begitu jelas menayangkan betapa sengsaranya satu wilayah yang hanya mengandalkan pembangunan ekonomi tanpa melihat pengelolaan lingkungan hidupnya (khususnya di Indonesia). Ekonomi dalam rangka pendapatan asli daerah menjadi primadona dalam menetapkan target. Dan hanya menjadikan kajian dampak negatif terhadap lingkungan sebagai pelengkap saja dan tidak penting untuk dilaksanakan.

Hasilnya, banjir bandang yang berulang-ulang setiap musim hujan, kekeringan dan tidak ada lagi sumber air minum, polusi udara dimana-mana tak pernah melihat cerahnya langit biru dan segarnya udara pagi, penyakit akibat sampah yang tak dikelola dan sistim sanitasi yang tidak baik, rusaknya sumberdaya air sungai dan tidak ada lagi air bersih, danau menjadi rusak, laut tak dihidupi lagi organisma laut akibat tumpahan minyak dan sampah. Rasanya, kiamat semakin mendekati langsung ke kota atau wilayah itu. Dan itu terjadi setempat, tidak merambah ke daerah lain di Indonesia.

Kesimpulannya, daerah atau wilayah atau kota dan kabupaten tersebutlah yang punya kuasa untuk memilih apakah hanya memajukan ekonomi dan menghacurkan lingkungan alam ataukah sebaliknya atau kedua-duanya diperhatikan dan dilaksanakan. Jadi, wilayah kota dan kabupaten itulah yang harus mengatur cara membangun dan memproteksi (melindungi) lingkungan hidup wilayahnya, karena mereka yang ada di wilayah itu dan yang akan terkena dampak langsung akibat ulahnya.

Kita lihat KOTA MANADO yang semakin saja berbenah diri dan semakin memajukan pembangunan dibidang ekonominya. Ini ditandai dengan banyaknya pembangunan fisik kota yang sedang dilakukan. Namun, diharapkan kisah “AMDAL Kawasan CBD di Boulevar” seharusnya menjadi pelajaran baik dan tak perlu diulang lagi oleh pengambil keputusan kota dan propinsi ini. Pengetatan pengawasan terhadap pelaku-pelaku pembangunan mesti dilakukan, baik terhadap kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan maupun kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan agar tidak lebih memperparah kondisi lingkungan hidup di KOTA MANADO. Mestinya demikian, jika mau melaksanakan komitmen menjadikan KOTA MANADO sebagai kota yang manusiawi dan berkelanjutan. Bukan cerita saja atau hanya di seminar saja, tetapi aksi nyata (jelas terlihat).

Memproteksi lingkungan Kota Manado dari ancaman dampak negatif yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan di Kota Manado sangatlah penting dan sudah saatnya dilakukan. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka itulah kajian AMDAL seharusnya dibuat dan dilakukan betul oleh pengembang (pemrakarsa) sebelum melakukan kegiatan pembangunan fisiknya.

Perlu juga disadari oleh semua pihak (investor, pemerintah dan masyarakat) bahwa kampanye tentang lingkungan hidup telah mulai memberikan dampak positif pada masyarakat. Kini, masyarakat mulai tahu bahwa dokumen AMDAL itu penting dan setiap kegiatan harus memerlukan dokumen ini, apalagi kegiatan tersebut berskala besar. Jadi, saya mau katakan disini, bahwa para pengusaha (investor) jangan merasa rugi dengan berdayanya masyarakat kota ini. Dan juga jangan menjadi ancaman bagi anda sebagai investor. Tetapi, jadikan mereka sebagai kontrol sosial anda juga dan kontrol sosial pemerintah. Contoh saja, jika ada kegiatan pembangunan shopping centre atau apa saja yang cenderung memiliki skala besar (strata tittle), pasti akan ada pertanyaan bagi masyarakat, apakah “proyek” ini telah memiliki kajian AMDAL? Dan pasti akan berkembang opini masyarakat dan mereka akan mencari terus sampai mendapatkan jawaban pasti. Itulah konsekuensi dari pemberdayaan masyarakat, rasa ingin tahunya menjadi besar, kritis dan cerdas. Itukan yang kita inginkan bersama, bukan masyarakat kota yang bodoh, yang mau saja menerima pembodohan yang dilakukan oleh para “the have”yang merasa bisa membeli hak hidup warga masyarakat kota ini.

Cilakanya, jika memang ditemukan masyarakat, bahwa kegiatan proyek yang berskala besar tersebut belum memiliki kajian AMDAL. Padahal kegiatannya terlihat sedang dijalankan atau sedang berkegiatan. Sekali lagi, ini bukan kesalahan masyarakat yang menilai, dan bukan pula menghambat datangnya investor masuk ke KOTA MANADO. Salah besar dan sangat bodoh, jika para investor mengatakan dan menilai masyarakat dimana tempat mereka berusaha akan menghambat kegiatan mereka. Sekali lagi, siapa sih? Yang tidak suka dengan pembangunan dan tidak suka dengan investasi? Hanya saja, harus dilakukan dengan aturan yang bagus dan bukan serampangan atau slenge’an (asal-asal atau urakan).

Memang betul, suatu kegiatan pembangunan belum boleh terlihat dilakukan apabila belum melakukan kajian AMDAL. Dan itu mutlak mesti diterapkan di kota ini, jika memang menginginkan KOTA MANADO menjadi kota berkelanjutan bukan bakal kota “mati”. Memang betul, jika kajian AMDAL belum ada dan apabila pengusaha bandel melakukan kegiatanya, kegiatan mereka harus dihentikan. Dan memang betul juga, bahwa masyarakat punya hak untuk menilai kegiatan itu, karena masyarakat (siapa saja seperti wartawan, masyarakat umum lainya) di kota ini, punya hak didalam pengelolaan lingkungan hidup di KOTA MANADO. Wujud partisipasi masyarakat adalah dengan menjadi pengamat lingkungan hidup, menjadi polisi swasta dalam melihat kerusakan-kerusakan lingkungan di kota ini. Dan itu tidak salah, karena itu tercantum dalam Undang-undang pengelolaan lingkungan hidup tentang peran serta masyarakat. Dan pengamatan dan pengawasan adalah bagian dari pengelolaan.

Kembali pada dokumen AMDAL, dokumen ini memang mesti dimiliki dulu oleh pemrakarsa (investor atau pengusaha) sebelum akan melakukan kegiatan. Kajian-kajian penting dan teliti yang dilakukan dalam dokumen ini. Apalagi, KOTA MANADO memiliki bentuk dan topografi yang unik dan spesifik dimana banyak sungai-sungai, memiliki garis sempadan pantai yang begitu panjang, sehingga kajian-kajian yang sangat penting dan spesifik pula yang mesti dilakukan disini. Sekarang ini sempadan pantai Manado yang tidak lagi berfungsi sebagai kawasan lindung, telah beralih fungsi menjadi kawasan budidaya (kawasa komersil atau perdagangan dan hunian sewa). Peralihan fungsi inipun saya anggap sudah disetujui oleh seluruh masyarakat KOTA MANADO, sehingga resiko akibatnya akan juga ditanggung oleh seluruh masyarakat kota ini. Begitu kiranya konsekuensi peralihan pemanfaatan lahan yang telah ditetapkan berdasarkan surat dari orang nomor satu KOTA MANADO untuk beberapa kegiatan/usaha yang akan ada di Kota Manado. Contoh, peruntukkan sebagai kawasan wisata bahari menjadi/dialihkan menjadi kawasan komersial (perdagangan dan industri), kawasan pemukiman menjadi kawasan komersial. Untuk itu pula seharusnya dan tidak boleh ditawar lagi, bahwa ada perlakuan ekstra ketat apabila membangun di kawasan yang rentan ini. Sistim drainase, dan membebaskan sungai-sungai untuk menjalankan fungsi sebagai saluran alami KOTA MANADO, bukan direkayasa dan dibuatkan bangunan di atasnya, sehingga mengancam keberadaan sungai ini. Dan tentunya keberadaan masyarakat yang ada di kawasan tersebut.
Saya pikir, sudah saatnya di tahun 2003 dan seterusnya, pemerintah KOTA MANADO melaksanakan tugas mulianya, dengan menegakkan aturan bahwa dokumen AMDAL harus dimiliki dahulu sebelum melakukan kegiatan. Seharusnya, ini tegas dilaksanakan, tak memandang kawan, saudara jauh-dekat dan juga bukan demi “popoji (kantong)”. Bukan pula berdasarkan ancaman investor, bahwa jika tidak diijinkan melakukan kegiatan ditempat itu, maka investor tersebut akan mencari lahan dan kota lain. Jangan terpengaruh dengan ancaman demikian. Yang paham dan mengerti kota dan masyarakat di Manado ini kan’ tentunya orang yang dipilih untuk memimpin Kota Manado ini. Ketegasan mesti dilakukan demi kota tercinta ini, demi masyarakatnya. Contoh saja, akibat kegiatan penimbunan salah satu lokasi pembangunan di daerah Malalayang, sebuah truk pengangkut batu dasar yang biasanya digunakan sebagai material pembuatan “breakwater” pada sore hari tanggal 14 Februari 2003 melaju dengan kencangnya (70-80 km/jam) dari lokasi galian batu Kalasey tanpa menutup bak truk nya. Batu-batu besar tersebut siap menggelinding setiap saat dan siap mencari mangsanya untuk diduduki. Truk tersebut melewati pos DLLAJR dan “cuek” saja tanpa ada yang menahan dan memeriksanya. Saya, sebagai masyarakat yang melihatnya menjadi was-was dengan kondisi truk tersebut. Bandel (nakal)nya pengembang (developer) atau pengusaha ini, berani-beraninya dia melanggar aturan yang seharusnya ada di dokumen AMDALnya. Jadi timbul pertanyaan, apakah pemrakarsa yang “order” batuan tersebut sudah mengantongi dokumen AMDAL untuk melakukan kegiatannya atau belum ya?

Nah, contoh kegiatan pengangkutan batu itu akan mengancam keselamatan masyarakat lainnya, sehingga perlunya dianalisis bagaimana penanganan truk angkut batu tersebut, agar tidak menganggu kenyamanan masyarakat. Dan bagaimana kerjasamanya dengan polisi atau DLLAJR. Semua analisis itu termasuk di dalam kajian AMDAL. Apabila, kedapatan truk melakukan kegiatan yang tidak mengikuti aturan maka berarti tidak mematuhi apa yang telah dituangkan dalam dokumen AMDAL, kita berhak memberhentikannnya dan memberikan sanksi pada pengembangnya. Tentunya, sekali lagi polisilah yang harus masuk didalam pemberian sanksi. Jangan nanti melakukan tindakan penertiban terhadap komitmen dalam dokumen AMDAL, setelah kejadian buruk telah menimpa masyarakat, itu sih bak “polisi india”, percuma.

Jadi, memang betul bahwa SEHARUSNYA DOKUMEN AMDAL DISETUJUI DULU baru kemudian KEGIATAN PEMBANGUNAN DILAKSANAKAN bukan DOKUMEN AMDAL DIBUAT BERSAMAAN DENGAN PELAKSANAAN KEGIATAN, dan sekali lagi, bahwa AMDAL adalah alat proteksi (pelindung) lingkungan hidup dan adalah bagian dari studi kelayakan suatu kegiatan (layak teknis, layak finansial dan layak lingkungan). Yang gunanya agar lingkungan hidup yang kita tinggali ini dapat memberikan “supply” bahan atau material yang dapat kita gunakan untuk menunjang kehidupan kita umat manusia di Kota Manado ini.

KONDISI LINGKUNGAN HIDUP SULAWESI UTARA DI TAHUN 2001


Pertumbuhan ekonomi yang masih terus berlangsung dengan angka tertinggi pada tahun 1997 ini telah melapaui daya dukung bumi yang menyediakan sumber daya alam sebagai bahan bakunya. Ekonomi global yang tersusun seperti sekarang ini tidak mungkin lagi berkembang lebih lama lagi jika ekosistem yang menjadi gantungannya semakin rusak dengan laju seperti sekarang ini, demikian laporan “State of the World” yang disusun oleh Worldwatch Institute sebagai analisis tahunan dampak perbuatan umat manusia pada lingkungan alamnya (Kompas, 12 Januari 1998). Lingkungan hidup masih dan akan terus menjadi pusat perhatian di mana saja di belahan bumi ini. Degradasi sumberdaya alam sebagai bahan baku yang ada di dalam wadah lingkungan hidup makin terjadi dari tahun ke tahun, sedangkan upaya rehabilitasi dan konservasi semakin menjadi soal yang sulit dan mungkin terasa janggal untuk di selesaikan. Lihat saja di sekitar tempat tinggal kita ini bumi “Sulawesi Utara” semakin menumpuk soal-soal tentang “kerusakan lingkungan hidup”, namun belum satupun terealisasi sempurna dan siknifikan (nyata).

Padahal inilah yang menjadi akar segala macam permasalahan yang terjadi saat ini. Rasa tidak adil di masyarakat, penindasan hak-hak manusia adalah akibat dari suatu perebutan sumberdaya alam di satu wilayah, karena wilayah yang lain tak lagi memiliki sumberdaya alam sebagai bahan dasar untuk melanjutkan proses kehidupan. Pertumbuhan populasi penduduk tak lagi sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayah setempat yang mengakibatkan terjadinya perpindahan penduduk dengan jumlah yang besar. Ini memang fenomena alam yang kini sedang terjadi dimana-mana, yang terkadang kita pun terlena dan pasrah dengan kondisi ini.

Padahal kita semua manausia yang berpangkat “manager lingkungan hidup” mesti mempertahankan hidup tanpa melakukan tindakan yang tak manusiawi. Karena pangkat itu, kita mesti berpikir keras untuk melakukan satu tindakan yang namanya “management (pengelolaan)” terhadap tempat hidup kita ini. Kita masyarakat Sulawesi Utara, pasti punya catatan-catatan (termasuk yang tak tertulis) tentang persoalan kerusakan lingkungan hidup yang membuat kita kesal, marah dan akhirnya putus harap melihat situasi lingkungan hidup kita ini. Para perusak lingkungan hidup di Sulawesi Utara seakan diam dan “pura-pura lupa” dengan janji-janjinya. Perasaan “loba (tamak)” masih menaungi para perusak lingkungan, dimana setelah mendapatkan keuntungan maka kewajibannya untuk me "recovery"(memperbaiki kembali) sering menjadi urutan paling buncit atau bahkan lupa sama sekali. Catatan-catatan kita sebagai masyarakat yang sangat mencintai lingkungan hidup “Sulawesi Utara”, adalah bagian penting untuk mengingatkan kembali, bahwa hak hidup kita ada di keberlangsungan lingkungan hidup wilayah ini, oleh sebab itu wadah ini mesti dijaga jangan sampai tidak diperbaiki atau dirusak.

Tahun 2001 adalah tahun penumpukan persoalan tentang lingkungan hidup di Sulawesi Utara. Mulai dari “highland (dataran tinggi), lowland (dataran rendah)” hingga ke “Coastal Area (area pesisir pantai)”, di tahun ini tercatat memiliki persoalan yang belum memiliki penyelesaian yang melegahkan hati kita. Belum terlihat upaya penyelesaiannya yang dipaparkan secara terbuka (transparan) dan dapat dilihat oleh semua warga Sulawesi Utara sebagai salah satu hak masyarakat.

Sulawesi Utara yang kaya akan sumber daya alam, sumberdaya manusia, daerah yang aman saat ini sangat menjadi surga bagi pelaku ekonomi semisal investor. Hanya saja kondisi ini semakin membuat lingkungan hidup propinsi ini semakin terekploitasi. Darat, laut dan udara semakin menjadi korban akibat kegiatan–kegiatan eksploitasi. Tidak ada upaya “law enforcement ” penegakan hukum disana sehingga membuat perusak-perusak lingkungan hidup Sulawesi Utara semena-mena tanpa peduli apa jadinya lingkungan ini. Perusahaan-perusahaan raksasa dengan ambisinya mulai mengeruk permukaan bumi sampai pada isi perut bumi Sulawesi Utara tanpa ada rasa bersalah bagi empunya tanah ini. Kekosongan dan pelecehan hukum terjadi bersama proses berjalannya pengrusakan lingkungan. Masyarakat lokal yang mulai “anggap enteng” dengan kerusakan lingkungan hidupnya, “ach, masa hanya dorang (pengusaha besar) boleh so, kong torang nemboleh” ungkapan yang sering dilontarkan komunitas lokal (masyarakat lokal) daerah ini, yang cenderung mulai terlihat masa bodoh dan tak pikir panjang lagi tentang berlanjut tidaknya lingkungan hidup ini.. Lingkungan hidup tidak lagi dipandang sebagai aset alami bagi suatu perusahaan yang hanya berorientasi pada ekonomi, demikian pula bagi yang empunya lingkungan hidup ini, tak rasa memiliki aset ini.

Hanya dagang saja yang terlintas di alam pikiranya tanpa memberikan ongkos perbaikan atau ongkos pemeliharaan aset alaminya (baik alam maupun manusianya). Seringkali kesalahan pembangunan pada daerah-daerah yang dilindungi menjadi hal yang biasa, “so bangun no, masa mo bongkar?” (ungkapan klasik) padahal ada satu saat dimana pengambil keputusan dan pembuat kebijakan diberikan kesempatan untuk berpikir, menganalisa dan mendengarkan “kata hati”, bahwa itu adalah tindakan atau kebijakan yang salah. Namun “cuek” itu yang menjadi lebih dominan, “yang penting mendatangkan uang”. Pola ini seolah menjadi biasa dilakukan dengan asumsi bahwa masyarakat akan memakluminya. Mungkin betul, masyarakat akan maklum, tapi apakah alam ini akan maklum adanya? Rasanya tidak akan, alam hanya mengerti “rusak” dan “tidak rusak”, maka yang menderita jika alam ini rusak adalah kita manusia dan sebaliknya. Banyak persoalan tentang pengrusakan lingkungan hidup ditahun 2000 dan 2001 yang berhasil dicatat dan perlu perbaikan dan perlindungan lingkungan segera di tahun 2002. Mengapa segera di tahun 2002? Sebab tahun 2003 adalah saat yang tidak bisa kita hindarkan bahwa segala macam kegiatan perdagangan jasa dan barang akan secara bebas diperdagangkan, dan tentunya kita hanya mengandalkan kualitas barang dan jasa tersebut, selain produknya berkualitas juga diproduksi pada perusahaan yang berkualitas pula (layak produksi dan layak lingkungan). Kita tak bisa menolak atau mem”blocking” kondisi ini dan kita juga tak bisa membiarkan diri kita terlindas dengan keleluasaan para pelaku bisnis dari berbagai negara yang dilegalkan untuk melintas dan membuang sampah-sampah dan merusak lingkungan hidup kita. Paling realistis adalah kita menghadapinya berbekal perangkat lunak (tools) yang dapat dijadikan saringan bagi pelaku bisnis yang akan melintas daerah ini atau negara ini.

Berikut beberapa catatan persoalan lingkungan hidup yang berskala besar yang memerlukan penyelesaian (realisasi) segera di tahun 2002 dalam rangka menghadapi era penting di tahun 2003.

PEMBABATAN HUTAN YANG BERDAMPAK BANJIR BANDANG
Pasti kita masih ingat bencana “banjir bandang” yang menyerang Kota Manado di akhir tahun 2000 yang membuat pusat kota Manado termasuk tempat berlangsungnya pemerintahan kota Manado terendam setinggi “dengkul (lutut)” lebih. Sungai-sungai yang melintas kota Manado menyikat semua penghuni yang berada di bantaran sungainya, seolah meminta hak area “sempadan sungai”. Arus yang datang dari hulu sungai yang begitu derasnya merontokkan konstruksi jembatan di sungai legenda “Ranoyapo”, sejenak masyarakat di kawasan Minahasa Selatan terpisah dari saudara-saudaranya di Minahasa. Daerah aliran sungai (Watershed area) di Sulawesi Utara total terganggu karena terganggunya area alam berupa hutan yang bertugas menangkap air untuk dialirkan ke dalam tanah. Air terlepas percuma, meningkatkan lajunya erosi yang membawa humus-humus penyubur tanah dan sebagai makanan tanaman yang bakal menjadi hutan kembali. Stabilitas tanah di daratan yang memiliki kemiringan (slope) yang lebih 30 persen terganggu dan tidak kuat lagi menahan beban air yang menerobos masuk ke dalam tanahnya dan akhirnya mengakibatkan berpindahnya tanah ke tempat lain atau “longsor”. Air-air yang terlepas dari lahan yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air terlepas mencari daratan yang lebih rendah dan bersatu dengan air-air yang tergenang di daratan rendah akibat tersumbatnya saluran-saluran air (got) dan menghasilkan debit air yang di melebihi batas normal atau “banjir”.

Tahun 2000 sampai dengan awal tahun 2001 banjir bandang sangat mempengaruhi kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Utara (khususnya kabupaten Minahasa dan Kotamadya Manado). Semua warga masyarakat panik dan bingung, tak ada kemampuan menahan bajir bandang tersebut. Kekesalan terhadap alam tanpa memperhatikan perilaku kehidupan sehari-hari seakan keluar dari setiap warga yang menderita banjir. Pemerintah setempat (baik Minahasa maupun Manado) dan Sulawesi Utara, seolah tak mau disalahkan akibat bencana alam ini. Padahal, kondisi ini adalah satu kondisi yang tidak mesti menjadi ajang umpatan “saking” kesal melainkan menjadi ajang instrospeksi diri dari semua pihak baik terhadap diri sendiri maupun terhadap program-program pemerntah di dalam membangun Sulawesi Utara, bukan saling menuding. Memang, diperlukan juga saling jujur antar “pengatur daerah” ini, bukan saling mengambil keuntungan satu dengan yang lain dalam rangka meng “kapling” porsinya akibat kekuasaan yang dimilikinya atau menggunakan satu ilmu “aji-mumpung”, yang artinya “mumpung berkuasa, rauplah yang banyak, kapan lagi?”. Ilmu yang seringkali digunakan terhadap penguasaan sumberdaya alam (yang bisu itu) tanpa memperhatikan masyarakat di dalamnya yang juga termasuk saudara-saudara (family) dan anak-anak si “penguasa”. Sangat tragis jika “penyakit” seperti itu mengidap pada diri para pemimpin negeri Sulawesi Utara.

Dampak positif dari bencana banjir lalu, terlihat membuat masyarakat berbondong-bondong bekerjasama membersihkan lingkungannya dari sampah-sampah yang dicanangkan pada setiap hari Jumat (Jumat bersih). Dan itu sangat baik jika di pupuk terus dan dipertahankan, karena lahir dari kesadaran pribadi setiap masyarakat. Itulah partisipasi di sudut bagian kecil masyarakat Sulawesi Utara.

Namun, tidak saja masyaakat yang dituntut untuk berlaku demikian, tapi juga perencana pembangunan, pengambil keputusan daerah Sulawesi Utara juga harus berpartisipasi, tentunya melalui program-program yang ditetapkan. Karena hanya dengan ketetapan, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pembuat aturan negeri ini semuanya dapat di kendalikan dan dikelola. Namun, apa yang kita lihat di tahun ini tahun 2002, masih saja aturan di larang membuka hutan-hutan lindung di hulu-hulu sungai tidak pernah ditegakkan. Pembabatan hutan Liando (1600 ha) contohnya, masih saja dilakukan, padahal hutan di areal ini sangat bermanfaat menjaga stabilitas dan ketahanan lingkungan alam (ekosistem) di daerah yang menjadi hulu daerah “watershed” di kawasan Minahasa dan Manado. Model pembabatan hutan “tebang habis” yang akan merubah kawasan lindung ini menjadi kawasan budidaya bakal tetap memberikan peluang untuk warga Sulawesi Utara menikmati banjir setiap tahun.

Penebangan hutan lindung di kawasan Minahasa dan Bolaang Mongondow untuk dijadikan daerah hunian pengungsi dan masyarakat di Kakenturan kawasan sekitar Danau Mooat sangat tidak dipikirkan. Padahal kawasan lindung tersebut terdapat hulu dari sungai-sungai yang masuk (inlet) ke Danau Mooat, sementara air Danau Mooat saat ini sedang dimanfaatkan sebagai sumberdaya bagi PLTA Wulurmaatus (Modoinding). Jika kawasan lindung tersebut telah dibuka dan dirubah menjadi kawasan hunian (kawasan budidaya) maka debit air yang mengalir di sungai-sungai yang sebagai inlet bagi danau Mooat akan berkurang dan berkurang pula debit air D. Mooat dan bakal menganggu debit air D. Iloloi yang menjadi sumber air bagi pergerakan turbin PLTA Wulurmaatus (yang telah dibangun dengan biaya yang sangat mahal). Akibat lain, jika masih terus saja diekploitasi lahan lindung di sekitar danau Mooat ini, maka satu saat danau ini bakal menjadi legenda di masa datang.

Melihat semua yang terjadi akibat eksploitasi sumberdaya alam hutan, danau di kawasan Sulawesi Utara, dan bencana alam yang datang di akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001 menjadi masukan di dalam membuat program-program pembangunan jangka pendek bagi bumi Sulawesi Utara ini. Program perbaikan lingkungan hidup bukan hanya dicanangkan saja, melainkan di “lakoni” atau dilaksanakan dan dinyatakan. Rame-rame meningkatkan PAD dan rame-rame mewujudkan Otonomi Daerah masing-masing daerah di Sulawesi Utara, bukan diwujudkan dengan membabat habis sumberdaya alam hutan, dan danau yang ada di daerahnya. Yang harus dan mesti diingat bahwa otonomi daerah boleh berlangsung, tapi sumberdaya alam hutan, sungai, danau, udara adalah hak semua orang di bumi ini. Biarpun masyarakat itu tinggal di lain wilayah misalkan di Bolaang Mongondow dan sumber daya alam ada di Minahasa, bukan berarti fungsi dan “benefit/keuntungan” yang dihasilkan sumberdaya alam itu semata-mata adalah hak orang Minahasa saja. Tidak demikian. Memang itulah rumitnya dan harus kita hadapi dan barangkali itulah yang dimaksud oleh pencipta bahwa kita adalah manusia sosial yang harus memikirkan orang lain. Hal ini tidak saja terjadi di bumi Sulawesi Utara, melainkan juga terjadi di negara tetangga kita di Asia, seperti China, Vietnam, Kambodia dimana ada satu sungai besar yang mengalir dan melintas di negara-negara ini. Akibatnya negara-negara tersebut harus menyatukan programnya di dalam meng “konservasi” aliran sungai ini. Mereka saja yang berbeda negara, beda bahasa, beda suku bangsa bisa dengan sadar melakukan, apalagi kita-kita ini di Sulut. Pengolahan bersama sumberdaya alam yang dimiliki di wilayah yang berbeda di Propinsi Sulut ini sangat diperlukan dan dilakukan. Daerah satu dengan daerah lain di Sulut saling membutuhkan sumberdaya alam. Bukan dengan menantang untuk membuat pemerintahan sendiri seolah tidak membutuhkan sumberdaya alam di wilayah lain. Tidak benar demikian dan itu yang menjadi tantangan untuk diselesaikan.

PROYEK REKLAMASI PANTAI YANG BERDAMPAK PADA LINGKUNGAN SOSIAL DAN EKOSISTEM PANTAI MANADOKerusakan sumberdaya alam (air, udara, tanah) seolah hanya menjadi hal yang biasa atau bahkan sudah menjadi bahasa klise dari konsekuensi (resiko) suatu kemauan untuk melakukan pembangunan fisik ekonomi. Sehingga upaya perbaikan terkesan lamban dilakukan dan lebih cenderung menjadikan alam sebagai penyebab kerusakan. Pemanfaatan lahan di tepi sungai yang seharusnya sebagai sempadan sungai (kawasan lindung) menjadi sah-sah saja. Penimbunan pantai menjadi resmi dilakukan hanya untuk menambah lahan sebagai kawasan komersial dan untuk menunjang bentuk “kota Pantai”.atau membuat “Cetral Bussiness” baru. Padahal lahan itu adalah lahan lindung yang seharusnya tidak mesti digunakan sebagai lahan budidaya., apalagi tidak berusaha meminimalkan resiko yang bakal terjadi jika kawasan terbangun ini sudah beroperasi. Tentunya, tidak adal lagi zona “barier (pembatas)” untuk melindungi lestarinya habitat alam laut yang kita miliki. Belum lagi, akibat dari pembangunan yang cenderung hanya berorientasi pada kemajuan ekonomi “sepihak” telah dengan paksa merampas hak-hak masyarakat kota ini untuk menikmasti indahnya alam secara gratis. Dengan demikian kondisi ini telah menambah biaya (cost) kehidupan di dalam masyarakat dengan secara terpaksa harus membayar pajak hanya untuk menikmati “sunset” dan indahnya laut. Hak masyarakat tak ada lagi, kini semakin terpilih saja “masyarakat mana” yang boleh menikmati hasil reklamasi. Sebenanrnya itu adalah salah satu bencana “sosial” yang bakal terjadi di masa datang jika sekali lagi tak pernah di gubris dan diantisipasi dengan baik. Pelaksanaan kegiatan penimbunan laut yang dianggap sama dengan pelaksanaan pembangunaan di atas lahan matang hasil reklamasi. Padahal kedua kegiatan ini “penimbunan laut” dan “pelaksanaan konstruksi bangunan komersial” menghasilkan dampak penting dan besar yang berbeda sehingga perlu cara penanganan dampak negatif yang rinci dan jelas untuk masing-masing kegiatan ini mulai dari pra-konstruksi, konstruksi sampai pada pasca-konstruksi. Namun apa yang terjadi? Tidak ada kejelasan penanganan dampak negatif dari masing-masing kegiatan ini. Seolah laut Manado yang tenang itu tak dimiliki siapa-siapa, sehingga dengan semena-mena menimbun laut tanpa aturan dan tidak memenuhi persyaratan teknis yang seharusnya dilakukan, apabila memang laut Manado mesti dikorbankan untuk suatu kegiatan pembangunan fisik ekonomi di lahan ini.

KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS YANG BERDAMPAK PADA KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KUALITAS HIDUP MASYARAKAT SEKITARNYA
Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki Sulawesi Utara adalah emas (sumberdaya alam yang memerlukan waktu yang sangat panjang untuk dapat pulih kembali sehingga jenis sumberdaya alam ini seringkali disebut sumberdaya alam tak terbaharui (non renewable resources). Lebih dari setengah juta hektar lahan yang memiliki potensi sumberdaya alam ini (Manado Post, 14 September 2000). Dari data yang dikeluarkan Kanwil Pertambangan dan Energi Sulut, April 2000 menyebutkan bahwa di daerah Sulawesi Utara terdapat 7 pemegang Kontrak Karya (KK), 11 pemengang Kuasa Pertambangan (KP), 4 Pertambangan Skala Kecil (PSK), dan 4 lokasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Newmont Minahasa Raya salah satu pemegang kontrak karya (menguasai 13.904 ha) yang sudah pada tahap produksi. Perusahaan tambang emas Newmont Minahasa Raya (NMR) adalah perusahaan Penananaman Modal Asing (PMA), anak perusahaan Newmont Gold Company,USA yang didirikan dengan Akte Notaris Nomor 163 tanggal 18 November 1986. Masuk di Sulawesi Utara melalui Kontrak Karya (KK) yang disetujui Presiden RI tanggal. 6 November 1986, ditandatangani oleh Soeharto, bersama 33 naskah kontrak karya lainnya yang disetujui waktu itu. Persetujuan Kontrak Karya PT. NMR, disepakati dan dibuat di Jakarta pada tanggal. 2 Desember 1986 antara Pemerintah Indonesia dalam hal ini Meteri Pertambangan dan Energi, dan PT Newmont Mtinahasa Raya. Sahamnya dimiliki oleh PT. Tanjung Sarapung dengan andil 20 % sedangkan 80 % sisanya dimiliki Newmont Indonesia Ltd. yang berkantor di Australia. PT. Newmont Minahasa Raya hingga akhir tahun 2000 telah berhasil “mengembangkan” enam lokasi tambang terbuka (open pit) dan telah dihasilkan ampas (tailings) sebanyak 2.000 ton setiap hari. Ampas yang mengandung bahan-bahan kimia yang toksik terhadap kesehatan manusia melalui rantai makanan tersebut dibuang masuk kedalam perairan Teluk Buyat pada kedalaman 82 meter melalui pipa yang memilki panjang 900 meter (diukur dari tepi laut ke arah laut). Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan telah terbukti bahwa ampas pengolahan emas PT. NMR yang mengandung Merkuri dan Arsen tersebut tidak saja terkontaminasi pada biota perairan Teluk Buyat tapi juga di dalam darah masyarakat desa Buyat yang ada di sekitar lokasi buangan ampas. Selain mengantarkan Merkuri dan Arsen pada biota laut dan manusia, ampas sisa olahan batuan Ore ini mengendap dan menutupi areal produktif Teluk Buyat, yang mengakibatkan bergesernya lahan tangkapan ikan (fishing ground) yang lebih jauh ke arah laut. Akibatnya menambah faktor kesulitan nelayan untuk menangkap ikan secara manual. Secara keseluruhan akibat kegiatan membuang ampas sisa olahan emas di areal Teluk Buyat ini secara otomatis telah menurunkan kualitas hidup masyarakat lokal yang ada di sekitar lokasi buangan.

Selain merusak ekosistem laut, kegiatan ekploitasi batuan Ore dari dalam tanah untuk diolah menjadi lempengan emas telah membabat vegetasi (pepohonan dan tanaman lain) di areal eksplorasi, yang secara ekologi telah menganggu iklim mikro dan stabilitas tanah di daerah tersebut. Pohon-pohon yang menghasilkan oksigen yangmerupakan bagian dari rangkaian siklus hidrologi di daerah Ratatotok, kini tak ada lagi. Peningkatan suhu/temperatur, erosi, dan berkurangnya air tanah (ground water) mengancam area ini. Sangat kompleks kerusakan lingkungan di areal pertambangan skala besar ini, hampir semua siklus telah terganggu bahkan terputus. Kualitas lingkungan menjadi menurun dan inilah awal tidak berlanjutnya lingkungan hidup di daerah ini (unsustainable environment). Buangan limbah akibat kegiatan eksploitasi mineral kini baik dari pengusaha besar maupun kecil kini telah memberikan dampak negatif yang sangat merugikan, dengan terkontaminasinya ikan-ikan produktif dengan zat-zat beracun, juga dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa penduduk yang bermukim di sekitar pantai yang tercemar telah terkontamisnasi oleh zat beracun seperti arsen dan merkuri. Bukan saja itu yang terjadi, pengrusakan lahan, tanaman sebagai sumber hidup manusia terjadi di areal eksploitasi mineral ini. Ini adalah persoalan yang mesti diutamakan. Namun seperti pembicaraa kita terdahulu bahwa ekonomi masih menjadi tameng dan menjadi ujung dari segala kegiatan di daerah ini. Padahal lingkungan hidup yang bersisikan sumberdaya alam adalah wadah bagi kegiatan ekonomi yang seharusnnya dijaga agar wadah ini tidak retak atau tidak hancur akibat “overload” kegiatan ekonomi.

Tidak hanya kegiatan pertambangan pada tingkatan skala besar yang mesti menjadi perhatian, tetapi juga perhatian terhadap kegiatan pertambangan skala kecil yang kini menjadi lahan mengais rejeki masyarakat lokal di daerah Sulut ini. Jumlah tromol yang tersebar di Sulut, Bolaang Mongondow 166 unit, Sangihe Talaud 5 unit, Minahasa 250 unit, yang masing-masing proses pengelohan batuan “Repp” menggunakan merkuri. Proses yang sangat tradisional dan sangat memberikan resiko tinggi bagi pekerjanya dan bagi lingkungan hidup. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang tentunya mesti dilengkapi dengan teknologi pengolahan emas yang aman perlu dilaksanakan oleh setiap pengusaha tromol skala kecil.

KOMITMEN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMERINTAH DAERAH SULUT UNTUK LINGKUNGAN HIDUPHampir semua kegiatan pembangunan ekonomi di Sulawesi Utara sangat tidak memiliki program meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Rata-rata hanya memikirkan dan melakukan ekpolitasi sumberdaya alamnya. Kini bencana akibat dari “keteledoran” mulai terwujud. Banjir bandang salah satu dampak yang besar dan penting dan sangat merugikan masyarakat telah terjadi, dan bakal menyusul kerusakan-kerusakan lingkungan lainnya apabila tidak segera bangun dari ketidakpedulian dan melakukan tindakan-tindakan konkrit dan nyata dalam menyelamatkan lingkungan hidup ini.

Pertambangan yang merupakan salah satu sektor yang belum 100% diserahkan pada kewenangan daerah untuk mengelola menjadi perhatian khusus Menteri negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sonny Keraf (dahulu) dimana melalui jumpa pers dengan Jatam, Walhi, Jaringan Pela dan beberapa LSM dari Canada & Amerika pada tanggal 4 Mei 2001 di Jakarta menyatakan komitmen bahwa “Pemerintah memutuskan untuk tidak lagi mengeluarkan izin pembuangan limbah tailing ke laut” dan mudah-mudahan ini masih menjadi komitmen menteri kita saat ini. Komitmen besar ini memiliki kekuatan dalam melindungi laut Indonesia, khususnya laut di Propinsi Sulut ini. Komitmen besar ini diresponi baik dan positif oleh Gubernur Propinsi Sulawesi Utara Drs. A.J Sondakh, beliau mengatakan ''kita juga tidak mentolelir berbagai pelanggaran terhadap standar dan mutu bagi perlindungan lingkungan,'' ujar Sondak, harus disadari oleh semua, khususnya pengusaha, perhatian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar merupakan aspek yang sangat menentukan bagi kelangsungan usaha ekonomi yang dikembangkan. Karena itu diharapkannya, kita wajib melaksanakan dan menjaga usaha ekonomi yang bekerja berdasarkan standar dan mutu yang tinggi terhadap perlindungan lingkungan serta memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar”. Komitmen ini digunakan sebagai titik tolak dalam memprioritaskan keberlangsungan lingkungan di Propinsi Sulawesi Utara, dimana dua kepentingan disandingkan untuk dijadikan patokan serta tolok ukur dalam melakukan pembangunan di daerah ini. Lingkungan dan Ekonomi menjadi “point of interest” di dalam pelaksanaan detail pembangunan. Sungguh ini suatu komitmen yang sangat bijaksana. Ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, hanya memerlukan pembenahan dan penegasan sedikit pada aturan-aturan yang telah ada. Masih ada peluang untuk membenahi semua itu, masih ada peluang untuk me “redesign” dan me”planning”kan kembali. Asal saja kita mau melakukannya. Masih ada kesempatan untuk membenahinya. Komitmen ini juga menjadi dasar bagi investor atau pengusaha untuk bekerja dan berusaha di Sulawesi Utara.

TINDAKAN YANG PERLU SEGERA DIREALISASI DALAM RANGKA MENYELAMATKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SULUT

Komitmen ini sangat baik apabila dibarengi dengan tindakan nyata berupa perwujudan “penegakan hukum” yang jelas dan tegas. Jangan dilupakan begitu saja, sehingga tak terasa kita sedang menanam kekeliruan dan bakal menuai bencana lingkungan (ecocatastrope) yang menyeluruh. Tindakan perbaikan lingkungan harus secara tegas dilakukan, adalah:
  1. Daerah “watershed/aliran sungai” bekas hutan yang kini telah ditebang, harus segera dihijaukan kembali dengan cara menanam pohon-pohon. Jangan sampai dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya (lahan perkebunan).
  2. Melakukan re-design (merancang kembali) areal reklamasi pantai Manado untuk menciptakan area milik masyarakat umum (public area), memiliki sistem drainase dan sanitasi yang baik, memiliki unit pengolahan air limbah.
  3. Mengelola pertambangan rakyat dengan cara men-disain wilayah pertambangan rakyat berdasarkan step/proses pengolahan emas, dimana disain step/proses yang berlangsung tidak berhubungan langsung dengan sumberdaya alam yang ada di wilayah tersebut maupun sekitarnya. Selain itupula mencari alternatif pengganti merkuri di dalam proses pengolahan emas, jika tidak bisa maka pemantauan yang ketat harus terjadi pada setiap proses mendulang emas yang menggunakan merkuri.
  4. Memberikan teknologi tepat guna bagi masyarakat lokal dalam melakukan pengolahan emas.
  5. PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) harus melakukan kegiatan rehabilitasi (pasca tambang) pada lokasi ekploitasi seluas kurang lebih 510 ha lahan, dan merehabilitasi masyarakat yang telah terkontaminasi Merkuri dan Arsen di Desa Buyat.
Ini semua adalah catatan penting yang harus di laksanakan, jika kita mau betul-betul mencanangkan tahun 2002 sebagai tahun Kasih dan Peduli Lingkungan Hidup di Sulawesi Utara, sebab kita masyarakat di Sulawesi Utara yang akan menuai semua itu, baik ataupun buruk. Alam itu akan menjadi baik jika kita mau mengasihinya atau bersahabat dengannya. Ini pula yang akan menjadikan “perfomance” daerah kita diperhitungkan oleh pelaku bisnis. Sulawesi Utara bakal menjadi sstu-satunya “sea-port” di kawasan Timur Indonesia, yang berarti pula menjadi pintu gerbang sebelah Timur bagi masuknya pelaku-pelaku ekonomi dari berbagai negara seperti China, Amerika Utara, Jepang, Korea untuk menanamkan modal di daerah ini. Kejelasan prosedur dan ketegasan peraturan (disegala bidang) 2 hal yang bukan menjadi kendala bagi para investor, melainkan menjadi hal yang sangat kompetitif bagi propinsi Sulawesi Utara dengan daerah-daerah lain di Indonesia atau bahkan di dunia. “Environmental Perfomance”, adalah salah satu cara menampilkan 2 hal tersebut. Mari kita merajut kembali mutu penampilan lingkungan hidup “Bumi Nyiur melambai”.